Seandainya kita rasional sedikit, sulit sekali mengalahkan Ahok dalam sisi program. Banyak program mendasar yang sudah dilakukan Ahok yang biasanya jadi jualan kampanye. Mulai penanganan banjir, sampai dibangunnya ruang-ruang publik.
Biasanya pada musim begini, mendadak kandidat kepala daerah perduli rakyat miskin. Bahkan ada yang sampe tidur-tidur di rumah warga miskin, demi menunjukkan dia perduli meski kalau sudah terpilih, dia juga yang pertama kali lupa. Yang penting, suara sudah dia dapat.
Sekarang mau tidur dimana? Kalijodo dah cantik. Kampung pulo dah bersih. Yang kemaren bergaul dengan sampah dan malaria di pinggir kali, sudah nyaman di rusun dengan kasur, kompor bahkan kulkas baru.
Akhirnya lawan Ahok buat program mengada-ada, sekedar supaya beda. Putar-putar otak akhirnya keluar juga ide, yang malah gak masuk akal.
Mas Agus dengan menggebu-gebu bicara tentang tidak boleh menggusur warga miskin. Yang boleh hanya "geser". Diserang bagaimana konsep geser, dia menjawab dengan "mengapung". Ditanya lagi bagaimana cara mengapung, dia jawab itu hoax. Lha?? Ide-ide sendiri dibilang hoax sendiri.
Akhirnya doi dapat jawaban yang menurutnya smart. "Oke, kita buat vertikal housing", artinya rumah akan dibangun ke atas. Trus kalo gitu, apa bedanya dengan rusun yang dibangun Ahok?? Bingung jawabnya, akhirnya menyerang karakter Ahok.
Mas Anies juga bingung buat program unggulan untuk tandingan. Lalu ia buat konsep membangun rumah murah untuk rakyat dengan dp 0 persen.
Akhirnya konsepnya diserang dimana-mana. Dimana emang lahan murah di Jakarta? Trus bagaimana skema punya rumah dengan gak pake dp??
Bingung jawabnya, ia langsung koreksi bahwa pengganti dp adalah mencicil dp selama 6 bulan. Lah, itu kan dp juga?? Mutar muter ngalor ngidul, akhirnya kembali serang karakter Ahok.
Dari sini kita bisa melihat bahwa lawan Ahok sangat kebingungan membangun program tandingan untuk melawan program Ahok yang sudah berjalan. Akhirnya mengada-ada dan tidak realistis.
Sedih memang ketika seorang mengajukan diri menjadi kepala daerah tapi ia sendiri tidak siap dengan visi dan misinya. Yang penting maju dulu, yang lain dipikir belakangan. Hanya mengandalkan ketenaran dan uang -tanpa ideologi yang kuat- membuat orang menjadi blunder.
Mereka maju dengan berdasarkan 3 kelemahan Ahok. Satu, kasar. Dua, Kristen. Dan tiga, ras Cina. Itu saja tanpa berbekal, "kalau dia jadi pemimpin, trus daerah ini mau diapain??"
Dan itulah fenomena yang banyak terjadi di berbagai daerah dalam pilkada. Kekuatan uang menjadi hal yang utama. Selain uang, kadang harus menggandeng wajah terkenal supaya mudah diingat warga. Akhirnya jadi mirip seperti Jawa barat, yang wagubnya cukup terkenal tapi hanya bisa nangis aja.
Standar pemimpin daerah yang dibangun Ahok memang tinggi. Standar yang juga dibangun oleh Jokowi dan Risma.
Pemimpin seperti mereka ini mengandalkan program sebagai ideologi utamanya. Mereka siap beradu isi kepala. Mereka paham, serangan terhadap personal lawan tidaklah elok, karena ini bukan hanya sekedar bagaimana menjabat tapi bagaimana memfungsikan jabatan dengan benar. Tapi standar "janji manis" dari banyak calon kepala daerah juga semakin tinggi.
Tahun ini saja, janji manis sudah bisa mencapai ketinggian khayalan dengan rumah yang murah supaya warga mabuk kepayang dan rumah mengapung sebagai solusi gusur. Mungkin 5 tahun lagi janji manis standarnya sudah lebih tinggi, misalnya dengan menjadikan alien dari planet Mars sebagai solusi dari rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia.
Satu yang penting, alien itu haruslah beragama Islam, kalau bisa dibaiat dulu. Ah, jadi calon pemimpin itu harus realistis. Jangan mengajari ikan terbang, karena ikan takdirnya berenang. Kalau gak bisa terbang juga, ikan harus berenang dengan model vertikal dan horizontal, lalu mengapung.
Yang penting semuanya harus Oke Oce.
Eh, ternyata sekarang hari Valentine ya. Kenapa gada yang ribut kafir dan haram lagi? Mungkin mereka sudah lelah akibat pilgub DKI.. Seruput?
Sumber: Denny Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar