Kamis, 09 Maret 2017

JOKOWI & SECANGKIR KOPI PAHIT

SBY
Jokowi, SBY, Prabowo
Hal yang saya kagumi dari Jokowi adalah pengambilan waktunya yang sangat tepat. Meski semua berbicara bahwa kedatangan SBY adalah kedatangan biasa seorang mantan Presiden menemui Presiden, tapi apa yang terlihat adalah aroma politik yang sangat kental.

Yang harus dipertanyakan adalah kenapa Jokowi baru menerima SBY sesudah melewati pilgub DKI putaran pertama yang tekanannya mengharu biru?

Jokowi bukannya tidak paham bahwa pilgub DKI adalah bagian dari strategi menguasai Jakarta untuk pilpres 2019. Dan kemenangan Gubernur Jakarta adalah kunci utama untuk bisa memenangkan pilpres nantinya.

Jokowi tidak bisa sebebas Prabowo yang bisa mengatakan, "Menangnya Anies di DKI adalah kemenangan Prabowo menjadi Presiden..". Jokowi terikat dengan jabatan bahwa ia seorang Presiden yang mengayomi semua anak bangsa. Masalahnya jika ia tidak bisa menguasai medan perang, situasi bisa berbalik menghantam dirinya.

Kebayang jika Anies yang menjadi Gubernur DKI, maka program-program yang sedang berjalan bisa disandera dan dijadikan kendaraan kampanye bagi Prabowo. Begitu juga komunikasi antara pusat dan DKI akan deadlock, karena menjadi "tahanan politik" supaya ada tawar menawar kekuasaan.

Dan itu akan merepotkan pekerjaan karena jadi lebih banyak bicara politiknya daripada kerjanya. Karena itu, Jokowi harus juga bergerak untuk mengamankan situasinya. Cara yang paling aman baginya adalah mendekati rival besar Prabowo, yaitu SBY.

Dan kunci waktunya tepat untuk bertemu dengan SBY. SBY butuh pegangan sesudah Agus kalah dalam pertarungan. Ada sekitar 17 persen suara Agus yang diperebutkan oleh Ahok dan Anies. Dan ini harus jelas ada dimana. Sebagian relawan ada di Anies dan sebagian ke Ahok.

Pertemuan dengan SBY sudah menegaskan akan kemana suara Agus nantinya. Ini seperti penyerahan pasukan kepada barisan dengan potensi kemenangan lebih besar.

Dan Jokowi memainkan perannya sebagai kepala negara. Strategi yang halus dan pintar. Ia tidak terlihat mendukung Ahok, tetapi ia merangkul musuh dari musuh Ahok.

Harus dipahami bahwa Jokowi dan Ahok sejak awalnya adalah satu paket. Program-program pusat di Jakarta akan lebih mudah terealisasi jika Ahok menjadi Gubernur DKI. Bahasa mereka berdua sudah sama.

Lalu apa penawaran SBY kepada Jokowi jika ia harus menyerahkan suara pemilih Agus kepada Ahok? Pasti banyak, karena kita tahu bahwa sang mantan tidak mau bertemu seperti itu jika tidak ada maksudnya. Tapi kita juga tahu bahwa Jokowi adalah seorang yang keras kepala. Ia tidak mudah ditundukkan oleh siapapun, termasuk orang-orang partainya sendiri.

Ibaratnya Jokowi berkata begini, "Kalau mau ke sini ya sini aja. Tapi ga usah banyak syarat, gua sekarang yang pegang senjata". Memang beda politik di tangan pakde ini. Saya pernah ngomong kepada seorang teman, "Sesudah bertahun-tahun kita dihidangkan politik kotor, baru sekarang kita tahu artinya politik berkelas".

Seperti secangkir kopi. Ia tidak perlu memaniskan rasanya supaya diterima lidah. Ia tetap pahit seperti sejatinya dirinya. Lidah yang mencecaplah yang harus menambahkan sedikit gula supaya ia bisa menerima.


Dan Jokowi adalah secangkir kopi yang pahit rasanya... terutama bagi lawan-lawan politiknya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar