Rabu, 28 Desember 2016

SEMUA KARENA KARMA By Siva Nataraja

Ilustrasi
Mungkin bukan hanya saya yang pernah diiming-imingi hadiah yang luar biasa yaitu  dijanjikan ‘masuk sorga’ jika mau beralih agama. Ini bukan cerita yang mengada-ada, ketika pada satu kesempatan teman saya mengajak berdiskusi seputar masalah keyakinan masing masing. Banyak topik yang ditanyakan oleh teman saya mulai dari simbol-simbol keagamaan, ritual dan sedikit filsafat. Pertanyaannya kritis juga menurut saya, ya pantaslah begitu karena dia seorang aktivis yang berbau keagamaan. Penampilan teman saya yang bernama Slamet ini agak lain, celana panjangnya hanya sampai 5 cm di atas mata kaki, dan jidatnya bertanda hitam (maaf…mungkin hanya kebetulan saja mirip tanda di jidat para pelaku bom Bali), entahlah… mungkin karena terlalu sering sujud atau memang itu adalah salah satu tanda sektarian seperti dalam Hindu yang menggunakan pasta cendana (simbol kaki padma).

Dengan pengetahuan yang ‘pas-pasan’ atau mungkin kurang, saya mencoba untuk memberikan sedikit penjelasan seputar masalah-masalah itu. Teman saya manggut-manggut entah mengerti atau tidak, yang jelas diskusi kami pun semakin ‘seru’,  sampai kemudian teman saya berkata, “Yan, apakah kamu sudah mantap di agamamu?”  Saya yang belum paham maksud pertanyaan itu kemudian balik bertanya, “maksudmu?” Raut wajah teman saya kemudian berubah menjadi sangat serius. Katanya, “Yan, kalau kamu mau… ikutlah agama saya, kamu bakalan masuk sorga lho”.
Saya yang tidak menyangka pembicaraan ini akan menyerempet ke sana jadi agak kaget juga, “Ah yang benar Met, masak sih?” Saya pura-pura ikut serius. Dia kemudian semakin bersemangat untuk menjelaskan bahwa agamanyalah yang paling sempurna. Jangan heran katanya, apa yang ada di Hindu ada juga di agamanya karena agamanya merupakan rangkuman dari kebenaran semua agama di dunia. Pendeknya semua sudah ada dalam dua kitab sucinya, kemudian dia sempat juga mengemukakan perumpamaan yang bagus bahwa produk apa pun yang keluar belakangan sudah pasti lebih baik kualitasnya, seperti itu juga agamanya.

Saya yang mulai sedikit tersinggung kemudian mengeluarkan tantangan, “Oke… Met, mungkin keyakinan saya akan bisa goyah dan saya bisa saja ikut agamamu jika kamu dapat menjawab, “Mengapa ada orang kaya dan orang miskin?” Sengaja saya pilih pertanyaan yang tampaknya sangat sederhana namun berkait mutlak dengan Panca Sradha. Teman saya dengan berseri-seri (mungkin karena pertanyaannya dianggap terlalu mudah) kemudian menjawab, “Itu karena kehendak Tuhan, karena Beliau tahu apa yang terbaik bagi umatNya. Mendapat jawaban itu, saya katakan, “kasihan benar ya nasibnya orang yang lahir miskin dan cacat, yang karena kemiskinannya sering kelaparan, terus… karena keadaan itu dan untuk bertahan hidup kemudian menjadi jahat (pencopet, pencuri, perampok, pembunuh), terus… ditangkap polisi dan diadili, terus…dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, terus…meninggal di penjara, terus…kalau sudah begitu rohnya akan masuk neraka yang menurut kamu neraka jahanam itu kekal selamanya (abadi). Yah...sungguh kasihan, sudah sengsara di dunia, dapat neraka pula di akhirat. Lalu, di mana keadilan Tuhan kepada ciptaanNya? Jika begitu, bukankah Tuhan sudah berbuat semena-mena terhadap umatNya? Coba kamu berikan jawaban yang logislah sedikit! Teman saya kemudian berkata, “Ya, itu rahasia Tuhan…, kajian ini masuk pada pokok bahasan yang tidak boleh diperdebatkan, yang penting kita harus yakin, serahkan urusan seperti itu kepada Tuhan.” Beliau tahu apa yang terbaik bagi umatNya.

“Met, saya mungkin bukan orang suci, tetapi saya begitu menikmati indahnya ‘luapan logika’ yang yang mengalir dari agama yang saya anut, sebab menurut saya ajaran agama itu harus logis.  Ajaran agama yang saya anut semuanya masuk akal. Kami orang-orang Hindu bukan semacam ‘keranjang sampah dogma’ juga kami tidak mengenal ‘kultus individu’. Teman saya kemudian bungkam. Saya tepuk pundaknya, Oke Met, jika besok atau lusa kamu sudah dapat jawaban yang logis, kita diskusi lagi ya?”

Ilustrasi di depan hanyalah sebuah bentuk penyadaran bahwa kita jangan goyah karena iming-iming atau propaganda murahan sebab ajaran Hindu sudah maha sempurna, karena sesungguhnya Weda mengandung semua ajaran moral dan cita-cita suci, sebagaimana  diamanatkan dalam sebuah mantra berikut.

Sarvam Vedat Prasidhyati,
Vedokhilo Dharmamulam

Artinya: Segala sesuatu dapat dibuktikan melalui Weda, Weda adalah akar atau sumber dari semua dharma.
            Maharsi  Wararuci dalam bukunya Sarasamucchaya dengan bangga menyatakan, “Apa yang terdapat di luar Hinduisme sudah pasti terdapat dalam Hinduisme, tetapi apa yang terdapat dalam Hinduisme belum tentu terdapat di luar Hinduisme”. 
Nah, kalau begitu mengapa ada pemeluk Hindu yang masih mudah goyah oleh iming-iming? Salah satu jawabannya adalah mereka tidak mampu menikmati logika yang ada dalam Hinduisme. Mengapa mereka tidak mampu menikmati logika Hinduisme? Itu karena mereka tidak mempunyai dasar (paling tidak Itihasa atau Purana) yang dapat dijadikan background knowledge untuk menerima logika Hindu pada tingkatan yang lebih tinggi selanjutnya. Mengapa mereka tidak mempunyai dasar? Itu karena tidak mendapat pembelajaran agama yang layak di bangku SLTP/SMU (terutama di daerah transmigrasi). Mengapa tidak mendapat pembelajaran yang layak? Ya, karena tidak ada guru agama Hindunya, perlu dicatat bahwa banyak sekolah di daerah transmigrasi yang 40-50% siswanya beragama Hindu tetapi tidak ada guru agama Hindunya, sedangkan guru agama lain di sekolah yang sama bisa kelebihan (dua atau tiga orang). Mengapa tidak ada guru agama Hindu sedangkan lulusan IHD/UNHI begitu banyak?”  Ini tentu politik yang dapat menjawabnya. Lagi-lagi kita tidak punya corong (pengeras suara/penyambung lidah) untuk menyampaikan kepentingan Hindu kepada pemerintah. Kita kalah (bukan karena minoritas jumlahnya, tetapi minoritas orientasinya). Maaf…saya terbawa emosi, kok jadi ngelantur ya?

Baiklah agar lebih relevan dengan judul tulisan ini, saya kembali kepada ilustrasi di depan. Satu pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh Si Slamet, atau bahkan mungkin oleh sebagian dari penganut Hindu (terutama yang masih awam/kurang pendidikan), “Mengapa ada orang kaya dan orang miskin?”  Sebenarnya pertanyaan ini bisa diperluas menjadi, “mengapa ada orang cantik dan ada orang jelek? Mengapa ada orang sempuna fisiknya dan ada pula yang cacat? Mengapa banyak orang baik pekerja keras tetapi hidupnya melarat dan berumur pendek, sedangkan yang jahat yang pemalas selalu bergelimang kemewahan dan berumur panjang, dan seterusnya…

Inilah ajaran Hindu. Kita punya jawaban yang logis  untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu yaitu ‘Hukum Karma’. Ini merupakan ajaran fundamental. Bagaimana bekerjanya hukum karma? Apapun yang kita tanam, demikian juga yang akan kita petik. Jika kita melakukan perbuatan jahat maka kita akan memetik penderitaan nantinya, begitu juga kalau kita berbuat baik kita akan memperoleh kebahagiaan. Tak ada kekuatan di dunia ini yang dapat menghentikan perbuatan yang menghasilkan buah. Setiap pemikiran, perkataan dan perbuatan ditimbang dengan neraca abadi yaitu keadilan Tuhan. Hukum karma tidak mengenal ampun. Tidak ada suap menyuap atau keputusan yang salah dalam hukum karma.

Benda-benda di alam semesta ini tak akan terjadi secara kebetulan atau dengan cara di luar aturan. Mereka terjadi dalam rangkaian yang beraturan. Ada hubungan yang jelas antara apa yang kita lakukan dengan apa yang akan terjadi nanti. Setiap kegiatan menghasilkan akibat, yang memberi kita ganjaran (hasil) atau buah yang sepantasnya, yang juga mempengaruhi karakter kita. Ia tertinggal berupa kesan dalam pikiran kita, dan kesan ini akan mendorong kita untuk mengulangi kegiatan itu lagi. Kesan ini akan mengambil bentuk riak-riak gelombang pemikiran dalam pikiran karena rangsangan dari luar maupun dari dalam.

Karma bukan saja berarti perbuatan, tetapi juga hasil dari perbuatan. Sesungguhnya akibat dari perbuatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari perbuatan itu sendiri. Bernafas, berpikir, berbicara, melihat, mendengar, makan dan sebagainya adalah karma. Suatu perbuatan atau pemikiran yang menyebabkan suatu akibat itulah karma. Pendeknya, hukum karma maksudnya adalah hukum yang mendatangkan akibat. Ibarat pohon menghasilkan benih dan menjadi penyebab adanya benih.
Bagaimana karma dibentuk? Manusia memiliki tiga sifat dalam dirinya yaitu icca (keinginan perasaan),jnana (tahu) dan kriya (kehendak), yang ketiganya ini membentuk karma. Kita mengetahui benda-benda seperti meja, kursi, pohon. Kita merasakan kebahagiaan atau kesedihan. Kita juga berkehendak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan sebagainya.
Di balik kegiatan, terdapat keinginan dan pikiran. Keinginan akan sebuah mobil misalnya muncul dalam suatu pemikiran, lalu kita berpikir untuk memilikinya, keinginan, pemikiran dan kegiatan berjalan bersama-sama bagaikan tiga utas benang yang diplinti (dipintal) menjadi tali dari karma.
Keinginan menghasilkan karma. Kita bekerja dan berusaha untuk mencari benda-benda yang menjadi keinginan kita. Karma menghasilkan buah berupa kesenangan atau penderitaan. Konsekuensinya adalah Roh/Atman yang merupakan percikan dari Brahman harus lahir berulang-ulang (reinkarnasi) untuk memetik buah karma. Inilah hukum karma.

Bila kita menanam sebutir benih, ia akan tumbuh menjadi kecambah, lalu tumbuh daun-daunnya, kemudian bunga dan berkembang menjadi buah yang juga mengandung benih di dalamnya. Benih mangga akan menghasilkan mangga juga. Tak akan ada semangka berbuah durian! Benih yang sama akan menghasilkan jenis buah yang sama.

Apapun yang kita taburkan dengan perbuatan, semua itu akan kembali kepada kita. Bila kita membuat orang lain senang melalui pelayanan, amal dan perbuatan-perbuatan baik, kita menaburkan kebahagiaan seperti sebutir benih, maka hal itu akan memberi kita buah kebahagiaan.
Bagaimana dengan istilah ‘nasib’?  Pemikiran membentuk karakter kita. Bila kita menunjukkan pemikiran mulia, kita akan mengembangkan karakter mulia, dan jika kita menunjukkan pemikiran jahat maka kita mengembangkan karakter nista. Ini merupakan hukum karma yang tidak dapat diubah. Oleh karena itu, kita dapat mempertimbangkannya dalam membentuk karakter kita dengan mengusahakan pemikiran yang luhur. Ingat, pemikiran merupakan cikal bakal perbuatan. Bila kita memperturutkan pikiran untuk merenungkan kebaikan kita akan melakukan perbuatan terpuji dan tentu saja baik. Prilaku atau adat istiadat menunjukkan karakter kita. Pengusahaan prilaku baik memerlukan disiplin dan kewaspadaan terus menerus. Kita menaburkan perbuatan dan memetik kebiasaan, kita menaburkan kebiasaan dan memetik karakter, kita menebarkan karakter dan memetik nasib. Oleh karena itu nasib merupakan tatanan kita sendiri yang kita bangun. Hal yang paling penting adalah bahwa kita dapat melepaskannya dengan menunjukkan pemikiran mulia dan melakukan perbuatan bajik serta mengubah cara berpikir kita.

Ada tiga macam karma yaitu sancita (timbunan karma), prarabdha (karma menyuburkan) dankryamana (rangkaian karma). Sancita adalah semua timbunan karma masa lalu yang terlihat pada karakter manusia, pada kecenderungan-kecenderungannya, pembawaan, kemampuan dan keinginan-keinginannya. Prarabdha adalah bagian dari karma masa lalu yang harus dipertanggungjawabkan oleh tubuh sekarang ini yaitu bagian dari sancita karma yang mempengaruhi kehidupan manusia pada inkarnasinya yang sekarang, yang siap untuk dipetik dan tak dapat dihilangkan atau diubah. Prarabdhakarma adalah karma yang telah dimulai dan benar-benar memikul buahnya, dan dipilih dari timbunan sancita karma. Kriyamana adalah karma yang sekarang sedang dibuat untuk masa depan.

Dalam kepustakaan Weda terdapat pengandaian yang indah. Pemanah baru saja melepaskan anak panahnya dan telah mengistirahatkan tangannya. Ia tak dapat menarik kembali anak panah tersebut. Ia baru saja akan menembakkan anak panah yang lain. Kumpulan anak panah dalam tabung panah dipunggungnya adalah sancita. Anak panah yang telah dilepaskan adalah prarabdha. Anak panah yang baru akan dilepaskan adalah kriyamana.

Pengandaian lain yang juga indah adalah gudang sembako (dolog) merupakan sancita, sembako yang diambil dan dibawa ke warung pengecer untuk dijual saat itu juga adalah prarabdha dan sembako yang di bawa ke warung pengecer untuk dijual nantinya merupakan kriyamana.


Keseluruhan timbunan karma (sancita) dapat dihancurkan dengan pencapaian pengetahuan dari Brahman yang abadi. Sancita dapat diubah sama sekali dengan menunjukkan pemikiran-pemikiran Ilahi yang luhur serta berbuat bajik. Kriyamana karma dapat dihancurkan dengan penebusan dosa upacara prayascitta, dan dengan melepaskan pemikiran tentang badan melalui Nimitta Bhawa (sikap bahwa seseorang merupakan alat di tangan Tuhan), dan Saksi Bhawa (sikap bahwa seseorang merupakan saksi bisu dari perbuatan, indriya dan pikiran) ***

Sumber : Siva Nataraja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar