Karena suami mba Anissa Pohan sudah bermarga Siregar - pasti sudah gak marah-marah lagi, karena marga Siregar dikenal ramah, santun dan tidak sombong. (yihaaaa!)
Jadi, mari kita lanjutkan analisa tentang cara membubarkan FPI. Sebenarnya kata membubarkan tidaklah tepat. Seperti media abal-abal ketika mereka di blocked, mereka cukup mengganti alamat dan terus bergerak..
Jalan yang terbaik adalah menggunakan kostitusi sebagai alatnya..
Jalur konstitusi ini dibagi dua, sebagai alat untuk menekan dan sebagai alat untuk melegalkan. Dalam kasus FPI, negara bisa membuat sebuah peraturan bahwa sebuah ormas yang tidak berdasarkan Pancasila akan dibekukan. Ini yang sedang digodok oleh Menkopolhukam.
Masalahnya, itu bisa dilakukan jika itu ormas baru atau ormas kecil. Bagaimana dengan ormas radikal yang sudah terlanjur besar?
Disinilah dibutuhkan konstitusi sebagai alat juga. Legalkan saja ormas itu - misalnya menjadi partai. Dengan begitu mereka akan tunduk pada UU yang berlaku baik struktur maupun syaratnya. Dan FPI sudah cukup memenuhi syarat ini.
Dengan menjadi partai, maka akan lebih mudah menjinakkannya. Rakyat yang akan memberikan sanksi sosial dan keributan yang terus terjadi seperti sekarang ini akan bisa diredam.
"Ah, kejauhan bang kalau FPI menjadi partai.. "
Memang. Itu hanya sebagai opsi saja. Tapi ada cara yang -bisa dibilang- sedang dikerjakan oleh aparat sekarang.
FPI ini sudah terlanjur besar. Seperti balon gas, meledakkannya sekarang tentu dampaknya akan merugikan. Jalan yang terbaik adalah menggelembungkannya sekalian...
Maka dibukalah jalan selebar-lebarnya supaya FPI semakin besar. Dengan semakin besar melebihi kapasitasnya, maka akan muncul kerusakan dalam FPI sendiri. Mereka akan menjadi pongah dan arogan.. Ini sifat dasar manusia, yang sulit sekali dikendalikan.
Ketika FPI menjadi besar dan arogan, maka akan terjadi penolakan dimana-mana. Masyarakat menerapkan sanksi sosial dengan menolaknya. Dan itu sudah terjadi sekarang di Bali, di Kalimantan, di NTT dan banyak daerah lain. Dengan penolakan di daerah-daerah, maka FPI hanya akan bisa beraksi di kota besar di Jawa saja.
Istilah kasarnya, dikandangkan..
Meski begitu, saya tidak setuju dengan cara Kapolda Jabar yang malah memanfaatkan ormas preman untuk berbenturan langsung dengan FPI. Ini cara yang tidak elegan dan akan memunculkan dampak negatif lain, yaitu ormas preman itu besar kepala dan akan menjadi FPI dalam model yang berbeda.
Yang perlu dilakukan aparat adalah membiarkan alam bekerja dan terus menjaga keseimbangan, jangan sampai terjadi bentrokan. Kalau FPI gak perlu dikontrol, cukup masyarakat yang menolaknya aja yang dijaga supaya jangan sampai terpancing adu fisik.
Dengan semakin arogannya FPI, jistru itu akan melemahkannya sendiri. Aparat -yang pasti punya mata-mata di dalam tubuh FPI sendiri- perlahan-lahan akan mengambil alih pucuk-pucuk pimpinan di dalam ormas itu sendiri.
Ketika mereka sudah menguasai FPI dari dalam, maka akan lebih mudah mengarahkannya ke hal yang lebih bermanfaat, seperti menjadi organisasi yang tanggap akan bencana alam.
Konsep "pelemahan" ini sudah terbukti dengan jinaknya PKS dan Golkar yang dulu menjadi rival berat pemerintah. Bahkan Golkar sekarang menjadi bagian dari koalisi pemerintah..
Jadi FPI tidak perlu dibubarkan, hanya konsep radikal mereka yang pelan-pelan dikempeskan. Karena ketika jadi balon kempes, mereka bisa berguna juga. Semisal menjadi tambalan ban..
Beginilah sebenarnya permainan catur itu. Harus ekstra sabar dalam melihat langkah-langkah yang dibuat.
Tidak harus selalu memakan bidak, karena bisa jadi itu hanya umpan. Tapi mengatur posisi strategis sehingga lawan sulit bergerak. Sediakan umpan-umpan supaya bisa mereka makan.
Ini sebagai catatan untuk FPI -jika mereka membaca status ini-. Jokowi semakin dipandang rendah, ia malah semakin berbahaya. Lebih baik bergabung dengannya daripada dimakannya.
Seruput dulu ah.. Kopi pagi memang nikmat sekali..
Sumber : Denny siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar