Siti mengabaikan embusan angin yang menciumi sedikit lebih lama cairan lilin malam di atas kain sutra yang duduk di pangkuannya itu. Mata sayunya menerawang jauh tentang awal mula bertemunya dengan seseorang yang berlalu di toko peninggalan mendiang Ayahnya. Rasa rindu akan pertemuan dengan sosok pria itu sedang menyergah dirinya.
***
“Ini motif batiknya dari daerah mana, ya, Bu?”
“Kalau itu dari Pekalongan, Mas.”
“Perpaduan warnanya terlihat elegan, ya?”
“Ya.”
Siti melempar senyum, melihat percakapan dua orang itu.
“Kalau yang itu dari mana, Bu?”
“Itu batik khas dari daerah Solo, Mas. Ukirannya terlihat rumit, tetapi detail dan rapi. Batik ini yang laris manis di pasaran,”
“Boleh tahu, Bu, nama coraknya apa dan bahannya dari mana?”
“Memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya yang terkenal seperti Sidomukti dan Sidoluruh. Batik Solo memiliki warna dominan cokelat soga kekuningan, Mas, yang sedang Mas genggam itu corak Sidomukti namanya.”
Pria itu tersenyum, sesekali mencuri pandang dengan Siti yang wajahnya tertutup tirai jendela kamarnya, yang berjarak tidak jauh dari toko batik milik ibunya.
Siti tersipu malu saat tertangkap sedang mengintai pria gagah berseragam dokter itu. Rasa itu yang kali pertama hadir dalam jiwa Siti. Hatinya berdesir, Mungkinkah ini cinta? tanya Siti menatap cermin.
Gadis berusia tidak lebih dari jumlah abjad itu belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria manapun. Hari-harinya selalu bersinggungan dengan kain batik. Hampir semua corak batik tulis asal daerah-daerah di Indonesia dia lihai menguasainya, bahkan selalu membuat orang-orang yang melihatnya terkagum-kagum sampai tidak percaya melihat bakat yang dimilikinya. Kemampuannya itu tidak lepas dari bakat kedua orangtuanya. Terlebih Ibunya yang dahulu sebagai pengrajin batik yang aktif pula berbagi ilmu saat menjelang senja di pelataran rumahnya dengan orang-orang di sekitar kampung.
Siti terlahir di pinggiran Kampung batik Laweyan. Kawasan itu adalah salah satu daerah wisata yang sengaja disediakan oleh pemerintah Kota Solo untuk mengundang para wisatawan asing dan domestik untuk melihat-lihat kerajinan batik. Tak heran jika kemampuannya dalam membatik begitu mahir dan tidak bisa disangal lagi.
Kampung Batik Laweyan dinilai sebagai kawasan sentra Batik di Kota Solo dan sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Kawasan ini sempat meraih kejayaannya pada tahun 1970-an. Kampung Laweyan didesain dengan konsep terpadu, dengan memanfaatkan lahan seluas kurang lebih 24 hektar yang terdiri dari 3 blok. Ayahnya dahulu penjual batik di salah satu blok di kampung batik tersebut bersama ratusan pengrajin batik yang menjual berbagai motif, seperti Tirto Tejo dan Truntum dengan beragam variasi harga. Selain batik, Kampung batik Laweyan juga menyimpan kekayaan arsitektur Jawa kuno.
Ayahnya pun bukan berasal dari kota yang jauh. Dia terlahir dari daerah Tuban, wilayah di bagian Timur dari pulau Jawa. Tak kalah dengan kota kelahiran Ibunya; Solo. Tuban juga memiliki kekhasan tersendiri dalam kerajinan tangan milik Indonesia itu. Motif batik tulis Tradisional Tuban, apabila dicermati, terlihat betapa motif-motif tersebut sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa, Islam, dan Tiongkok. Gambar-gambar burung pada motif batik tulis Tuban jelas terlihat pengaruh dari budaya Tiongkok, karena gambar burung yang dimotifkan pada batik tulis tersebut Nampak adalah burung “Hong” yang jelas tidak terdapat di wilayah Tuban.
Sedang pada motif bunga jelas terlihat adalah motif-motif tradisional yang sejak lama dibuat dihampir seluruh wilayah pulau Jawa. Sedangkan pengaruh Islam pada motif batik tulis Tuban terlihat pada motif dengan nama yang religious seperti ‘kijing miring’.
Dahulu batik tulis ini hanya digunakan untuk upacara-upacara tradisional masyarakat Tuban seperti sedekah bumi, pernikahan, pemakaman. Tetapi sekarang, sudah diperjual-belikan secara bebas, dan boleh digunakan oleh siapa pun dan dalam acara apa pun.
“Bu, Dokter yang minggu lalu memesan batik, sudah kemari?”
“Belum, memangnya ada apa?”
Siti menggeleng mengibaskan kerudungnya. Lalu berbisik perlahan.
“Dia namanya siapa, Bu?”
“Wah ibu paham. Kamu suka, ya?” godanya. “Namanya Dokter Ahmad Rezky,”
“O, makasih, Bu.”
Siti berlalu dengan senyum sumringah merekah di wajah ayunya. Sang ibu hanya geleng-geleng kepala. Dia pun turut merasakan kebahagiaan anaknya. Setelah mengalami keterpurukan, akhirnya Siti yang usianya sudah tidak muda itu merasakan cinta. Setidaknya, jatuh cinta itu membuat Siti semakin semangat dalam menyelesaikan kegiatan membatiknya, terlebih mendapatkan pesanan dari seseorang yang disukainya.
Kesehariannya hanya berkutat dengan: canting, lilin (malam), kompor minyak dan kain. Sudah sejak Sekolah Menengah Atas di tahun pertama, ia memutuskan untuk berhenti. Bukan karena tidak mampu soal biaya, hanya saja, Siti sudah lelah bahkan hampir putus asa karena perlakuan teman-temannya terhadap orang yang seperti Siti. Ia disebut wanita cacat. Makian yang menerpanya sejak SMP bahkan Sekolah Dasar, membuat ia terpuruk. Tetapi orang tuanya tidak patah arang. Mereka terus menyemangati anaknya itu, hingga akhirnya depresi yang pernah membelenggunya perlahan menguap.
***
“Permisi…, Selamat siang!”
Toko milik Ibunda Siti terlihat lengang. Sahutan Sang dokter tidak ada yang menanggapi. Berulang kali ia mengulang ucapannya, berharap ada seseorang yang mendengar suaranya.
“Ibu, sepertinya ada orang di toko? Suaranya seperti pernah aku dengar sebelumnya?” bisik Siti menghentikan goresan cantingnya.
“Coba sana kamu lihat!”
Siti melangkah pasti, ia yakin memang ada seseorang yang berseru di dalam tokonya. Ia membuka pintu dengan sedikit kesulitan. Pintu itu menyambungkan kedua ruangan; rumahnya dengan toko. Siti menghentikan lajunya, pintunya kembali ia tutup dan disisakan sedikit terbuka. Matanya menyoroti seseorang yang ada di dalam toko. Rupanya orang yang sejak kemarin di nanti-nanti telah datang.
“Ibuuu…, Ibuuu!!! Mas dokter yang ada di depan,” teriaknya setelah berlari dengan tergesa-gesa.
“Ya, sudah. Pesanannya ‘kan kamu yang simpan. Mengapa kembali? Sana gih, serahkan saja!”
“Tidak, Bu. Aku malu! Aku takut dia ilfil melihatku,” jawabnya murung.
“Hey, kok bilang begitu? Tidak boleh berburuk sangka, Nak.”
“Aku belum siap, Bu.”
“Baiklah, mana kain batik pesanannya biar ibu yang berikan,”
Siti mengambil kain batik tulis pesanannya yang sebagian besar ia yang mengerjakannya. Meski malu, tetapi ia membuntuti ibunya sampai di bibir pintu penghubung tadi. Ia kembali mencuri pandang dengannya. Dokter itu sesekali memerhatikan pintu yang bergerak-gerak sendiri.
“Ibu, itu ada siapa di balik pintu?”
“Oh, Siti, Mas. Putri semata wayangku.”
“Boleh aku bekenalan dengannya? Kebetulan di sini aku termasuk orang baru, belum banyak memiliki teman. Kali saja Siti anak ibu mau berteman denganku,” ia berharap.
“Tentu boleh, Mas.”
Sebelum ibunya menghampiri, Siti telah mendengar perbincangan mereka. Jantungnya berdegup kencang. Ia salah tingkah. Ingin berlari, namun ibunya keburu membuka pintu. Wajah Siti telah sampai dalam pandangan Sang Dokter.
“Maaf, Mas. Siti orangnya pemalu,” ucapnya seraya merangkul bahu Siti.
“Ibu, aku tidak mau bertemu dengannya, Bu!” bisiknya namun ia tetap mengiringi langkah Ibunya.
“Hai!”
Siti membalas dengan senyum.
“Kenalkan, aku Rezky!”
“Aku Siti!”
Mereka saling menyahut dari jarak yang tidak terlalu dekat. Siti memang termasuk wanita yang jarang berbicara dengan seorang pria selain Ayahnya: saat masih hidup. Justru ia terlalu sering menghabiskan waktunya di kamar, jika tidak ada pesanan batik tulis. Ia wanita yang kurang percaya diri. Karenanya, orang tuanya senang jika Siti menyukai seorang Pria. Sebab, telah lama ia tidak berinteraksi dengan teman lelakinya selepas berhenti dari sekolah.
Obrolan pertamanya itu berlanjut sampai hari-hari berikutnya. Dokter Rezky hampir setiap minggu berkunjung ke toko tersebut, tentunya kini Siti yang menerima kedatangannya. Mereka saling bertukar cerita, rupanya Dokter Rezky mulai senang dengan Siti. Mulai dari caranya berbicara, santunnya bertingkah, dan tidak neko-neko. Ia menyenangi keluguan serta kepolosannya.
Begitu pun sebaliknya. Siti berpikir, ternyata tidak semua laki-laki melaknat keberadaannya. Memang tidak semua lelaki yang dia kenal di SMA senang menghina, tetapi memang sebagian besar senang mempergunjing keadaan fisiknya.
“Kamu mau tidak berkunjung ke tempat praktikku?”
“Di mana?”
“Di Desa Berjo, Kecamatan Karang…,” ia mengulum bibirnya sambil mengingat sesuatu.
“Karanganyar?!” sela Siti menebak.
“Nah, iya itu. Haduuh, aku lupa terus,”
“Wah lumayan jauh, ya? Kok bisa belanja kainnya sampai kemari?” ia mengintrogasi.
“Yaaa…, denger-denger, sih. Di sini batiknya bagus-bagus. Dan kebetulan juga ada teman yang dari kota buka Praktik tidak jauh dari sini,”
“O” Siti membulatkan bibirnya.
“Kamu mau gak?”
“Boleh, tapiii…, mesti izin dulu sama Ibu,”
“Ibu…, Ibu…!!!”
“Eh, eh…, kok teriak-teriak?”
“Tenang saja, biar aku yang minta izin, hehehe…,” tawanya terdengar menggema.
Tidak lama ibunya datang menghampiri. Rezky bicara santun meminta izin untuk mengajak Siti berkunjung ke tempat praktiknya yang kebetulan sedang libur.
“Ya, ibu percaya dengan Mas Dokter. Lagipula, sekarang sedang sepi pesanan. Biar sekali-kali Siti refreshing, supaya gak jenuh juga karena lebih sering ngurung diri di kamar selain membatik,” canda Ibunya membuat Siti tersenyum masam.
Hati Siti begitu senang tiada terkira. Ia bersyukur, ternyata ada yang menerima keadaanya.
Dokter Rezky menitipkan mobil Suzuki Swift berwarna putih susu miliknya di kediaman Siti. Ia bergurau dengan Ibunya, bahwa ini jaminannya kalau dia tidak kembali. Kuncinya pun ia titipkan. Ibunda Siti hanya tersenyum melihat tingkahnya itu.
Mereka menumpangi mobil bus tingkat Werkudara. Mobil itu memang disediakan untuk wisatawan. Rezky ingin menjajalnya. Sebab sebelumnya tidak pernah ia temukan transportasi umum seperti itu di Indonesia, selain di Thailand dan negara lainnya. Harganya pun terjangkau. Cukup merogoh kocek 20.000 rupiah untuk seorang penumpang. Mereka memilih duduk di bus tingkatnya, karena memang itu alasannya menaiki bus tersebut. Rezky membantu menopang bahu Siti saat menaiki tangga. Mereka memilih duduk di bangku belakang.
“Luar biasa!” ucap Rezky kagum melihat pemandangan yang asri di sekitaran bumi Solo. Sedap dipandang mata.
“Mas, tempatnya dekat dengan air terjun, nggak?”
“Air terjun apa? Gak tahu, memangnya ada?”
“Wah, nggak lengkap kalau belum pernah ke sana,”
“Di mana? Aduh, kok aku belum tahu, ya? Siti mau tidak temani aku ke sana?”
“Tempatnya di Desa Berjo juga kok, gak jauh. Pokoknya bakalan ketagihan kalau berwisata di sana,”
“O, ya? Wah Siti bikin penasaran, saja! Maklum, selama aku buka praktik di sini, kegiatanku ya cuma bantu pasien, terus kasih obat. Begitu saja hampir setiap harinya.”
“Oke deh, nanti Siti tunjukkan tempatnya, biaya masuknya juga murah kok. malahan murah banget,” ia sudah tidak canggung lagi bergurau dengannya. Keduanya saling melepas tawa riang. Sapaan angin lembut pun menyentuh mereka melalui celah jendela yang terbuka cukup lebar.
***
Keduanya telah sampai di tujuan utama. Kliniknya mungil, hanya ada satu kamar. Rezky berbagi kisah, katanya jika di kota tempat tinggalnya, ukuran kliniknya seukuran dengan kamar mandinya, bahkan lebih besar. Tetapi, dari kehidupannya sekarang ia sadar, bahwa jerih payah serta peluh yang mengiringi langkahnya selama ini membuat ia lebih bisa memahami akan arti kehidupan. Segala sesuatu yang dibangga-banggakannya dahulu, hanyalah milik orang tuanya yang notabene Ayahnya adalah seorang Pengusaha. Ia bersyukur bisa menghasilkan sesuatu dari kerja kerasnya sendiri.
Rezky menawarkan makan, tetapi Siti menolaknya secara halus. Hanya beberapa menit mereka singgah di sana. Rezky kembali ingat dengan janji Siti yang akan mengajaknya ke Air terjun yang di maksud.
“Siti, sekarang kita ke air terjun, yuk!”
“Air terjun apa?” siti berlagak pilon.
“Lho, bukannya kamu tadi yang bilang waktu di Bus?”
“Hehehe…, Aku bercanda, kok. Namanya air terjun Jumog, Mas. Tetapi biasa disebut oleh orang sekitar sih, sebagai ‘The Lost Paradise of Java’ karena memang keindahannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata,”
“Wah, kalau begitu wajib bawa kamera DSLR, nih. Kebetulan aku bawa dari kota. Ayo berangkaaattt!!!” serunya semangat.
***
“WOOWWW!!! Ini benar ada di Indonesia?” ucapnya takjub tak percaya.
“Tentu dong, selamat datang di ‘The Lost Paradise of Java’ air terjun yang eksotis,” Siti yang berlagak seperti pembawa acara di televisi.
Air terjun yang jatuh dari tebing dengan ketinggian kurang lebih 25 meter menghujam deras. Debit air yang melimpah ruah serta sejuk dan segar menyiram syahdu apa pun yang ada di sekitarnya. Airnya dingin khas air pegunungan. Rezky berlari sesampainya di sana. Ia berhenti di aliran sungai yang melintasi bebatuan yang berkelok-kelok. Segera ia menenggelamkan sebagian kepalanya. Sedang Siti yang berdiri di bantaran sungai hanya tertawa melihat tingkah laku kawan barunya itu.
“Aku bangga menjadi penghuni negara Indonesia. Kekayaan alamnya tiada bandingannya dengan negara lain. Ini harus dilestarikan dan jangan sampai jatuh pada tangan yang salah. Inilah kekayaan alam milik bersama yang harus senantiasa kita jaga keasriannya. Dunia harus tahu tentang bumi Indonesia.” Ucap Rezky saat mendekat ke arah Siti berdiri.
“Terima kasih banyak Siti. Mungkin jika tanpa perantara darimu, tidak akan secepat ini Aku tahu The Lost Paradise of Java yang tersembunyi ini,” lanjutnya berucap syukur.
“Sama-sama, Mas. Mungkin jika tidak bertemu dengan Mas Rezky pula aku tidak akan pernah lagi kemari semenjak hampir dua puluh tahun yang lalu. Kami sering menghabiskan liburan di sini, bersama Ibu dan Almarhum Ayah, juga keluarga besar kami. tidak ada kata bosan untuk menikmati keindahan alam yang ada di tanah pertiwi ini.”
Tak mau membuang waktu, mengingat janjinya terhadap Ibunda Siti bahwa tidak boleh pulang malam, Rezky mengambil kamera DSLR yang sudah disiapkannya tadi sebelum berangkat. Pepohonan yang rimbun mengelilingi sekitar air terjun menjadi sasarannya. Tentu tak luput air terjunnya yang deras itu. Ia meminta Siti berdiri di sana dan akan mengabadikannya dalam secarik kertas foto.
Rezky meminta bantuan pada salah satu pengunjung yang sedang berdiri bersampingan dengannya untuk meng-capture dirinya bersama Siti. Backgroud air terjun bersama cipratannya yang dingin menambah esensi serta efek alami dalam setiap jepretannya. Hari itu mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama dalam kesenangan yang tidak akan terlupakan.
***
“Siti…, Sitiii…, hey! kamu melamun, ya?!” tanya ibunya dari pintu dapur. Siti celingukan mencari sumber suara. Kain yang sedang tergeletak di pangkuannya hampir terjatuh ke tanah, untungnya kedua kakinya mengapit kain tersebut. Siti tersipu malu, sepertinya ibunya tahu apa yang sedang menjadi lamunannya di senja itu. Ia kembali mengerjakan tugasnya. Di ambilnya cairan lilin malam dari atas wajan yang duduk di atas kompor minyak. Ia meraih lilin malam itu menggunakan canting yang terkunci di bibirnya.
Kembali ia menggoreskan kreativitasnya pada kain yang sebagian masih terlihat polos. Hatinya bersyukur tiada henti, sebab kemarin adalah hari terindah untuknya. Tuhan telah mengirimkan seseorang yang mau menerima keadaan fisiknya yang terlahir tanpa kedua lengan. Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, ia menyesal karena saat terpuruk selalu saja Tuhan yang dijadikan pelabuhan terakhirnya untuk dipersalahkan. Ia tersadar.[]
***
“Ini motif batiknya dari daerah mana, ya, Bu?”
“Kalau itu dari Pekalongan, Mas.”
“Perpaduan warnanya terlihat elegan, ya?”
“Ya.”
Siti melempar senyum, melihat percakapan dua orang itu.
“Kalau yang itu dari mana, Bu?”
“Itu batik khas dari daerah Solo, Mas. Ukirannya terlihat rumit, tetapi detail dan rapi. Batik ini yang laris manis di pasaran,”
“Boleh tahu, Bu, nama coraknya apa dan bahannya dari mana?”
“Memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya yang terkenal seperti Sidomukti dan Sidoluruh. Batik Solo memiliki warna dominan cokelat soga kekuningan, Mas, yang sedang Mas genggam itu corak Sidomukti namanya.”
Pria itu tersenyum, sesekali mencuri pandang dengan Siti yang wajahnya tertutup tirai jendela kamarnya, yang berjarak tidak jauh dari toko batik milik ibunya.
Siti tersipu malu saat tertangkap sedang mengintai pria gagah berseragam dokter itu. Rasa itu yang kali pertama hadir dalam jiwa Siti. Hatinya berdesir, Mungkinkah ini cinta? tanya Siti menatap cermin.
Gadis berusia tidak lebih dari jumlah abjad itu belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria manapun. Hari-harinya selalu bersinggungan dengan kain batik. Hampir semua corak batik tulis asal daerah-daerah di Indonesia dia lihai menguasainya, bahkan selalu membuat orang-orang yang melihatnya terkagum-kagum sampai tidak percaya melihat bakat yang dimilikinya. Kemampuannya itu tidak lepas dari bakat kedua orangtuanya. Terlebih Ibunya yang dahulu sebagai pengrajin batik yang aktif pula berbagi ilmu saat menjelang senja di pelataran rumahnya dengan orang-orang di sekitar kampung.
Siti terlahir di pinggiran Kampung batik Laweyan. Kawasan itu adalah salah satu daerah wisata yang sengaja disediakan oleh pemerintah Kota Solo untuk mengundang para wisatawan asing dan domestik untuk melihat-lihat kerajinan batik. Tak heran jika kemampuannya dalam membatik begitu mahir dan tidak bisa disangal lagi.
Kampung Batik Laweyan dinilai sebagai kawasan sentra Batik di Kota Solo dan sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Kawasan ini sempat meraih kejayaannya pada tahun 1970-an. Kampung Laweyan didesain dengan konsep terpadu, dengan memanfaatkan lahan seluas kurang lebih 24 hektar yang terdiri dari 3 blok. Ayahnya dahulu penjual batik di salah satu blok di kampung batik tersebut bersama ratusan pengrajin batik yang menjual berbagai motif, seperti Tirto Tejo dan Truntum dengan beragam variasi harga. Selain batik, Kampung batik Laweyan juga menyimpan kekayaan arsitektur Jawa kuno.
Ayahnya pun bukan berasal dari kota yang jauh. Dia terlahir dari daerah Tuban, wilayah di bagian Timur dari pulau Jawa. Tak kalah dengan kota kelahiran Ibunya; Solo. Tuban juga memiliki kekhasan tersendiri dalam kerajinan tangan milik Indonesia itu. Motif batik tulis Tradisional Tuban, apabila dicermati, terlihat betapa motif-motif tersebut sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa, Islam, dan Tiongkok. Gambar-gambar burung pada motif batik tulis Tuban jelas terlihat pengaruh dari budaya Tiongkok, karena gambar burung yang dimotifkan pada batik tulis tersebut Nampak adalah burung “Hong” yang jelas tidak terdapat di wilayah Tuban.
Sedang pada motif bunga jelas terlihat adalah motif-motif tradisional yang sejak lama dibuat dihampir seluruh wilayah pulau Jawa. Sedangkan pengaruh Islam pada motif batik tulis Tuban terlihat pada motif dengan nama yang religious seperti ‘kijing miring’.
Dahulu batik tulis ini hanya digunakan untuk upacara-upacara tradisional masyarakat Tuban seperti sedekah bumi, pernikahan, pemakaman. Tetapi sekarang, sudah diperjual-belikan secara bebas, dan boleh digunakan oleh siapa pun dan dalam acara apa pun.
“Bu, Dokter yang minggu lalu memesan batik, sudah kemari?”
“Belum, memangnya ada apa?”
Siti menggeleng mengibaskan kerudungnya. Lalu berbisik perlahan.
“Dia namanya siapa, Bu?”
“Wah ibu paham. Kamu suka, ya?” godanya. “Namanya Dokter Ahmad Rezky,”
“O, makasih, Bu.”
Siti berlalu dengan senyum sumringah merekah di wajah ayunya. Sang ibu hanya geleng-geleng kepala. Dia pun turut merasakan kebahagiaan anaknya. Setelah mengalami keterpurukan, akhirnya Siti yang usianya sudah tidak muda itu merasakan cinta. Setidaknya, jatuh cinta itu membuat Siti semakin semangat dalam menyelesaikan kegiatan membatiknya, terlebih mendapatkan pesanan dari seseorang yang disukainya.
Kesehariannya hanya berkutat dengan: canting, lilin (malam), kompor minyak dan kain. Sudah sejak Sekolah Menengah Atas di tahun pertama, ia memutuskan untuk berhenti. Bukan karena tidak mampu soal biaya, hanya saja, Siti sudah lelah bahkan hampir putus asa karena perlakuan teman-temannya terhadap orang yang seperti Siti. Ia disebut wanita cacat. Makian yang menerpanya sejak SMP bahkan Sekolah Dasar, membuat ia terpuruk. Tetapi orang tuanya tidak patah arang. Mereka terus menyemangati anaknya itu, hingga akhirnya depresi yang pernah membelenggunya perlahan menguap.
***
“Permisi…, Selamat siang!”
Toko milik Ibunda Siti terlihat lengang. Sahutan Sang dokter tidak ada yang menanggapi. Berulang kali ia mengulang ucapannya, berharap ada seseorang yang mendengar suaranya.
“Ibu, sepertinya ada orang di toko? Suaranya seperti pernah aku dengar sebelumnya?” bisik Siti menghentikan goresan cantingnya.
“Coba sana kamu lihat!”
Siti melangkah pasti, ia yakin memang ada seseorang yang berseru di dalam tokonya. Ia membuka pintu dengan sedikit kesulitan. Pintu itu menyambungkan kedua ruangan; rumahnya dengan toko. Siti menghentikan lajunya, pintunya kembali ia tutup dan disisakan sedikit terbuka. Matanya menyoroti seseorang yang ada di dalam toko. Rupanya orang yang sejak kemarin di nanti-nanti telah datang.
“Ibuuu…, Ibuuu!!! Mas dokter yang ada di depan,” teriaknya setelah berlari dengan tergesa-gesa.
“Ya, sudah. Pesanannya ‘kan kamu yang simpan. Mengapa kembali? Sana gih, serahkan saja!”
“Tidak, Bu. Aku malu! Aku takut dia ilfil melihatku,” jawabnya murung.
“Hey, kok bilang begitu? Tidak boleh berburuk sangka, Nak.”
“Aku belum siap, Bu.”
“Baiklah, mana kain batik pesanannya biar ibu yang berikan,”
Siti mengambil kain batik tulis pesanannya yang sebagian besar ia yang mengerjakannya. Meski malu, tetapi ia membuntuti ibunya sampai di bibir pintu penghubung tadi. Ia kembali mencuri pandang dengannya. Dokter itu sesekali memerhatikan pintu yang bergerak-gerak sendiri.
“Ibu, itu ada siapa di balik pintu?”
“Oh, Siti, Mas. Putri semata wayangku.”
“Boleh aku bekenalan dengannya? Kebetulan di sini aku termasuk orang baru, belum banyak memiliki teman. Kali saja Siti anak ibu mau berteman denganku,” ia berharap.
“Tentu boleh, Mas.”
Sebelum ibunya menghampiri, Siti telah mendengar perbincangan mereka. Jantungnya berdegup kencang. Ia salah tingkah. Ingin berlari, namun ibunya keburu membuka pintu. Wajah Siti telah sampai dalam pandangan Sang Dokter.
“Maaf, Mas. Siti orangnya pemalu,” ucapnya seraya merangkul bahu Siti.
“Ibu, aku tidak mau bertemu dengannya, Bu!” bisiknya namun ia tetap mengiringi langkah Ibunya.
“Hai!”
Siti membalas dengan senyum.
“Kenalkan, aku Rezky!”
“Aku Siti!”
Mereka saling menyahut dari jarak yang tidak terlalu dekat. Siti memang termasuk wanita yang jarang berbicara dengan seorang pria selain Ayahnya: saat masih hidup. Justru ia terlalu sering menghabiskan waktunya di kamar, jika tidak ada pesanan batik tulis. Ia wanita yang kurang percaya diri. Karenanya, orang tuanya senang jika Siti menyukai seorang Pria. Sebab, telah lama ia tidak berinteraksi dengan teman lelakinya selepas berhenti dari sekolah.
Obrolan pertamanya itu berlanjut sampai hari-hari berikutnya. Dokter Rezky hampir setiap minggu berkunjung ke toko tersebut, tentunya kini Siti yang menerima kedatangannya. Mereka saling bertukar cerita, rupanya Dokter Rezky mulai senang dengan Siti. Mulai dari caranya berbicara, santunnya bertingkah, dan tidak neko-neko. Ia menyenangi keluguan serta kepolosannya.
Begitu pun sebaliknya. Siti berpikir, ternyata tidak semua laki-laki melaknat keberadaannya. Memang tidak semua lelaki yang dia kenal di SMA senang menghina, tetapi memang sebagian besar senang mempergunjing keadaan fisiknya.
“Kamu mau tidak berkunjung ke tempat praktikku?”
“Di mana?”
“Di Desa Berjo, Kecamatan Karang…,” ia mengulum bibirnya sambil mengingat sesuatu.
“Karanganyar?!” sela Siti menebak.
“Nah, iya itu. Haduuh, aku lupa terus,”
“Wah lumayan jauh, ya? Kok bisa belanja kainnya sampai kemari?” ia mengintrogasi.
“Yaaa…, denger-denger, sih. Di sini batiknya bagus-bagus. Dan kebetulan juga ada teman yang dari kota buka Praktik tidak jauh dari sini,”
“O” Siti membulatkan bibirnya.
“Kamu mau gak?”
“Boleh, tapiii…, mesti izin dulu sama Ibu,”
“Ibu…, Ibu…!!!”
“Eh, eh…, kok teriak-teriak?”
“Tenang saja, biar aku yang minta izin, hehehe…,” tawanya terdengar menggema.
Tidak lama ibunya datang menghampiri. Rezky bicara santun meminta izin untuk mengajak Siti berkunjung ke tempat praktiknya yang kebetulan sedang libur.
“Ya, ibu percaya dengan Mas Dokter. Lagipula, sekarang sedang sepi pesanan. Biar sekali-kali Siti refreshing, supaya gak jenuh juga karena lebih sering ngurung diri di kamar selain membatik,” canda Ibunya membuat Siti tersenyum masam.
Hati Siti begitu senang tiada terkira. Ia bersyukur, ternyata ada yang menerima keadaanya.
Dokter Rezky menitipkan mobil Suzuki Swift berwarna putih susu miliknya di kediaman Siti. Ia bergurau dengan Ibunya, bahwa ini jaminannya kalau dia tidak kembali. Kuncinya pun ia titipkan. Ibunda Siti hanya tersenyum melihat tingkahnya itu.
Mereka menumpangi mobil bus tingkat Werkudara. Mobil itu memang disediakan untuk wisatawan. Rezky ingin menjajalnya. Sebab sebelumnya tidak pernah ia temukan transportasi umum seperti itu di Indonesia, selain di Thailand dan negara lainnya. Harganya pun terjangkau. Cukup merogoh kocek 20.000 rupiah untuk seorang penumpang. Mereka memilih duduk di bus tingkatnya, karena memang itu alasannya menaiki bus tersebut. Rezky membantu menopang bahu Siti saat menaiki tangga. Mereka memilih duduk di bangku belakang.
“Luar biasa!” ucap Rezky kagum melihat pemandangan yang asri di sekitaran bumi Solo. Sedap dipandang mata.
“Mas, tempatnya dekat dengan air terjun, nggak?”
“Air terjun apa? Gak tahu, memangnya ada?”
“Wah, nggak lengkap kalau belum pernah ke sana,”
“Di mana? Aduh, kok aku belum tahu, ya? Siti mau tidak temani aku ke sana?”
“Tempatnya di Desa Berjo juga kok, gak jauh. Pokoknya bakalan ketagihan kalau berwisata di sana,”
“O, ya? Wah Siti bikin penasaran, saja! Maklum, selama aku buka praktik di sini, kegiatanku ya cuma bantu pasien, terus kasih obat. Begitu saja hampir setiap harinya.”
“Oke deh, nanti Siti tunjukkan tempatnya, biaya masuknya juga murah kok. malahan murah banget,” ia sudah tidak canggung lagi bergurau dengannya. Keduanya saling melepas tawa riang. Sapaan angin lembut pun menyentuh mereka melalui celah jendela yang terbuka cukup lebar.
***
Keduanya telah sampai di tujuan utama. Kliniknya mungil, hanya ada satu kamar. Rezky berbagi kisah, katanya jika di kota tempat tinggalnya, ukuran kliniknya seukuran dengan kamar mandinya, bahkan lebih besar. Tetapi, dari kehidupannya sekarang ia sadar, bahwa jerih payah serta peluh yang mengiringi langkahnya selama ini membuat ia lebih bisa memahami akan arti kehidupan. Segala sesuatu yang dibangga-banggakannya dahulu, hanyalah milik orang tuanya yang notabene Ayahnya adalah seorang Pengusaha. Ia bersyukur bisa menghasilkan sesuatu dari kerja kerasnya sendiri.
Rezky menawarkan makan, tetapi Siti menolaknya secara halus. Hanya beberapa menit mereka singgah di sana. Rezky kembali ingat dengan janji Siti yang akan mengajaknya ke Air terjun yang di maksud.
“Siti, sekarang kita ke air terjun, yuk!”
“Air terjun apa?” siti berlagak pilon.
“Lho, bukannya kamu tadi yang bilang waktu di Bus?”
“Hehehe…, Aku bercanda, kok. Namanya air terjun Jumog, Mas. Tetapi biasa disebut oleh orang sekitar sih, sebagai ‘The Lost Paradise of Java’ karena memang keindahannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata,”
“Wah, kalau begitu wajib bawa kamera DSLR, nih. Kebetulan aku bawa dari kota. Ayo berangkaaattt!!!” serunya semangat.
***
“WOOWWW!!! Ini benar ada di Indonesia?” ucapnya takjub tak percaya.
“Tentu dong, selamat datang di ‘The Lost Paradise of Java’ air terjun yang eksotis,” Siti yang berlagak seperti pembawa acara di televisi.
Air terjun yang jatuh dari tebing dengan ketinggian kurang lebih 25 meter menghujam deras. Debit air yang melimpah ruah serta sejuk dan segar menyiram syahdu apa pun yang ada di sekitarnya. Airnya dingin khas air pegunungan. Rezky berlari sesampainya di sana. Ia berhenti di aliran sungai yang melintasi bebatuan yang berkelok-kelok. Segera ia menenggelamkan sebagian kepalanya. Sedang Siti yang berdiri di bantaran sungai hanya tertawa melihat tingkah laku kawan barunya itu.
“Aku bangga menjadi penghuni negara Indonesia. Kekayaan alamnya tiada bandingannya dengan negara lain. Ini harus dilestarikan dan jangan sampai jatuh pada tangan yang salah. Inilah kekayaan alam milik bersama yang harus senantiasa kita jaga keasriannya. Dunia harus tahu tentang bumi Indonesia.” Ucap Rezky saat mendekat ke arah Siti berdiri.
“Terima kasih banyak Siti. Mungkin jika tanpa perantara darimu, tidak akan secepat ini Aku tahu The Lost Paradise of Java yang tersembunyi ini,” lanjutnya berucap syukur.
“Sama-sama, Mas. Mungkin jika tidak bertemu dengan Mas Rezky pula aku tidak akan pernah lagi kemari semenjak hampir dua puluh tahun yang lalu. Kami sering menghabiskan liburan di sini, bersama Ibu dan Almarhum Ayah, juga keluarga besar kami. tidak ada kata bosan untuk menikmati keindahan alam yang ada di tanah pertiwi ini.”
Tak mau membuang waktu, mengingat janjinya terhadap Ibunda Siti bahwa tidak boleh pulang malam, Rezky mengambil kamera DSLR yang sudah disiapkannya tadi sebelum berangkat. Pepohonan yang rimbun mengelilingi sekitar air terjun menjadi sasarannya. Tentu tak luput air terjunnya yang deras itu. Ia meminta Siti berdiri di sana dan akan mengabadikannya dalam secarik kertas foto.
Rezky meminta bantuan pada salah satu pengunjung yang sedang berdiri bersampingan dengannya untuk meng-capture dirinya bersama Siti. Backgroud air terjun bersama cipratannya yang dingin menambah esensi serta efek alami dalam setiap jepretannya. Hari itu mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama dalam kesenangan yang tidak akan terlupakan.
***
“Siti…, Sitiii…, hey! kamu melamun, ya?!” tanya ibunya dari pintu dapur. Siti celingukan mencari sumber suara. Kain yang sedang tergeletak di pangkuannya hampir terjatuh ke tanah, untungnya kedua kakinya mengapit kain tersebut. Siti tersipu malu, sepertinya ibunya tahu apa yang sedang menjadi lamunannya di senja itu. Ia kembali mengerjakan tugasnya. Di ambilnya cairan lilin malam dari atas wajan yang duduk di atas kompor minyak. Ia meraih lilin malam itu menggunakan canting yang terkunci di bibirnya.
Kembali ia menggoreskan kreativitasnya pada kain yang sebagian masih terlihat polos. Hatinya bersyukur tiada henti, sebab kemarin adalah hari terindah untuknya. Tuhan telah mengirimkan seseorang yang mau menerima keadaan fisiknya yang terlahir tanpa kedua lengan. Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, ia menyesal karena saat terpuruk selalu saja Tuhan yang dijadikan pelabuhan terakhirnya untuk dipersalahkan. Ia tersadar.[]
https://seword.com/cerpen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar