Tampilan luar seseorang, bukanlah pembenaran terhadap prilakunya. Sedangkan prilaku seseorang bukan gambaran sejati dari dirinya. Saya setuju ini. Orang yang prilakunya kurang baik, diukur dari etiket, tidak berarti bukan golongan orang baik. Menteri Susi merokok dan tatoan, apakah prilaku ini membuktikan Susi jahat?
Tidak bisa disimpulkan begitu.
Sebaliknya, Patrialis Akbar itu jidatnya hitam, jenggotan, tapi kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK. Bukankah jidat hitam, jenggotan dan pandai ceramah agama adalah indikator orang saleh (baik)? Bukankah semestinya Patrialis Akbar juga otomatis adalah orang baik?
Jawabannya sama, tidak selalu.
Tweet Fahri Hamzah sebelumnya membandingkan dua hal itu. Tatoan versus jenggotan. Dan KPK telah memberikan jawaban jelas. Fahri terjebak pada kedangkalan logikanya sendiri. Tentunya ini menguatkan kehebohan penistaan terhadap profesi babu sebelumnya. Orang-orang yang sebelumnya ngotot masih menaruh hormat dan mencoba obyektif terhadap Fahri, pikirkan lagi. Kaum 2D pemuja tampilan luar belajar lagi. Orang ini perlu penanganan khusus, if you know what i mean.
Kemudian netizen kembali memberikan penghakiman. Salahkah netizen mempersoalkan jidat hitam dan jenggot Patrialis Akbar? Jawaban saya tidak. Namun saya setuju, bahwa membawa-bawa jenggot dalam persoalan korupsi sebenarnya tidak tepat. Kebijaksanaan seperti ini perlu sebagai tolok ukur kesadaran, meskipun itu juga bukan kebenaran tunggal. Artinya, saya tetap pro netizen.
Orang banyak adalah wujud dari kumpulan residu pembenaran individu. Kita tak bisa mengatakan mereka salah atau benar. Reaksi mereka adalah titik balik dari narasi sosial yang dibentuk dalam masyarakat. Orang berjubah, jenggotan, jidatnya hitam dinarasikan sebagai golongan baik dan jujur. Sementara yang tatoan, merokok, suka mabuk adalah golongan buruk dan tidak jujur.
Nah, ketika narasi itu terbukti salah dan terbalik, orang banyak memberikan “nilai lebih” kepada pelakunya. Nilai itu bisa muncul dalam bentuk hujatan, bully, anekdot, pujian, parodi, doa, dan macam-macam lagi.
Misalnya, ada foto seorang perempuan bule tatoan, merokok, pemabuk, memberikan minum bocah Nigeria yang kurus dan kelaparan. Perempuan ini mendapat nilai lebih tadi. Pujian, sanjungan, doa, dst. Berikut narasi, “Wah tidak disangka hatinya begitu mulia….”
Patrialis Akbar berada dalam posisi sebaliknya. Ia yang rajin memberikan wejangan moral. Pernah menyetujui hukuman mati bagi koruptor. Membuat framing soal pemimpin kafir. Ternyata juga seorang bajingan. Publik marah dan kecewa. Orang yang sangat paham hukum dan menduduki posisi terhormat di masyarakat mengkhianati kepercayaan itu.
Netizen menghujat berlebihan memang keliru, tapi reaksi spontan dan pemberian nilai lebih tadi adalah juga kewajaran. Mereka marah dan kecewa. Akan sangat tidak adil menuduh mereka tak bermoral, sedangkan kita tahu, seorang hakim dengan posisi terhormat saja bisa begitu bejat. Anggap saja ini euforia hitam. Rakyat bersuka-cita atas rasa kecewanya sendiri. Orang-orang marah pada hipokrisi.
Apa yang dilakukan oleh seorang hakim di hotel yang katanya adalah wilayah mesum itu? Konon ia bersama dua orang perempuan. Memberikan kuliah hukum? Atau memberi pencerahan masyarakat bahwa calon gubernur Jakarta harus muslim, santun, bermoral, seperti sebelumnya?
Ironi ini dengan sendirinya adalah pelajaran benderang bagi netizen. Bahwa tampilan agamis, santun, pemaaf, sabar, itu bukan keadaan sejati seseorang. Hal ini juga akan menambah daftar panjang ketidak-percayaan masyarakat pada hukum. Reaksi awal mereka menghujat, marah, membully.
PAN sebagai partai yang telah membesarkan Patrialis Akbar cepat-cepat cuci tangan. Ia tidak dianggap kader lagi. Muhamadiyah mendapat malu. Jika sebelummya tokoh idola ini banyak memberikan ceramah tentang moral pada jamaah Muhamadiyah, tentunya fakta ini adalah pil pahit. Orang Minang yang sebelumnya bangga dengan saudara adat mereka juga kecewa berat. Ternyata ia bukan contoh ideal lagi.
Jenggot dan jidat hitam Patrialis Akbar sebelumnya memberikan poin positif pada pemiliknya. Ini orang bukan main, sudah ahli hukum, santun, saleh pula. Sekarang semua itu bernilai sebaliknya. Ternyata jenggot dan jidat hitam tak membuat seseorang selamat dari prilaku bejat. Bukan jaminan seseorang baik. Jenggot dan jidat hitam itu justru memperberat hukum sosial yang diterimanya. Ia memberikan efek luar biasa.
Hari ini jika masih ada orang yang suka memuja tampilan luar, sebaiknya mengingat ironi jenggot dan jidat hitam Patrialis Akbar ini. Tentu bukan untuk menggeneralisir, atau menafikan sisi baik seseorang. Cukup sebagai pengingat, iman dan kesalehan itu urusan pribadi. Tidak ada urusan dengan jenggot panjang dan jidat hitam. Bagi yang suka pamer tampilan agamis, ingatlah nama Patrialis Akbar seumur hidupmu. Itupun jika masih punya malu.
Bagi perempuan juga sama saja. Tampilan luar yang agamis dan salehah itu tak bermakna apa-apa tanpa esensi di dalamnya. Don’t judge a book by its cover….
Kajitow Elkayeni
https://seword.com/author/kajitow-elkayeni/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar