Sabtu, 20 April 2013

Hindu dan Islam di Desa Cangkuang


Hindu dan Islam di Desa Cangkuang 
Hindu dan Islam di Desa Cangkuang
Image by : Bayu Maitra
Garut terletak di bagian Selatan provinsi Jawa Barat, 3 jam bermobil dari Bandung. Ratu Beatrix dari Belanda pernah ke sana, begitu juga komedian legendaris Charlie Chaplin. Chaplin menyebut Garut "Swiss van Java". Ia mengacu pada letak kota yang dikelilingi gunung-gunung. 

Sedikit saja melipir ke luar kota, 10 menit ke arah utara, Anda akan menemukan desa bernama Cangkuang. Nama ini diambil dari jenis tanaman yang banyak tumbuh di sana. Desa Cangkuang memiliki objek wisata berupa candi, makam, dan kampung adat. Untuk mengunjungi situs, Anda mesti menyeberangi situ (danau) dengan menyewa rakit bambu seharga Rp4.000. Catatan: jika sedang sepi, operator rakit akan membujuk Anda untuk menyewa secara borongan.

Cagar Budaya Candi Cangkuang tidaklah besar, namun menarik dicermati. Pertama, di sana ada sebuah candi peninggalan Hindu. Ia ditemukan oleh ahli purbakala, Drs. Uka Tjandrasasmita pada 9 Desember 1966. Tjandrasasmita menelusuri informasi dari buku Notulen Bataviach Genoot Schapkarya Vorderman, yang ditulis pada 1893. Buku itu menyebutkan adanya sebuah arca di desa Cangkuang.

Hasil penemuan ini lantas diteliti. Penggalian di sekitar lokasi ternyata memberi kesimpulan lain: Apa yang ada di sana bukanlah arca, melainkan candi. Indikasinya berupa pondasi ukuran 4,5 x 4,5 m di bawah tanah, juga batu-batu besar yang berserakan. Pemugaran pun dilakukan pada 1974, dengan menggunakan 40 persen batuan andesit asli yang tersisa, kemudian ditambahkan batu baru. Proses ini selesai pada Desember 1976 dengan menyisakan tanda tanya akan sejarah candi. Ketiadaan prasasti dan cerita rakyat membuat sejarah Candi Cangkuang tidak pernah terungkap.

Pada abad XVII, seorang utusan Sultan Agung dari Mataram diperintahkan menyerang Belanda di Batavia. Utusan itu bernama Arif Muhammad. Ia menyerang Belanda yang kala itu di bawah pimpinan JP Coen. Arif gagal dalam serangan itu, dan, karena malu, ia memilih tidak pulang ke Mataram. Dalam perjalanannya ia singgah di desa Cangkuang, menyebarkan Islam dan menetap di sana. 

Ketika meninggal, Arif dimakamkan di sebelah Candi Cangkuang. Arif Muhammad memiliki tujuh anak, satu laki-laki dan enam perempuan. Jumlah anak inilah yang kemudian menentukan susunan bangunan di Pulo, sebuah kampung adat yang terletak di dataran rendah dekat candi. Kampung Pulo hanya boleh terdiri dari enam rumah (melambangkan enam anak perempuan) dan satu mesjid (satu anak laki-laki). Formasi ini tidak berubah hingga saat ini. Dan, semua penghuni Kampung Pulo adalah keturunan Arif Muhammad. 

Melihat letak makam yang tepat di samping candi sungguh menggelitik pikiran. Bagaimana Candi Cangkuang, yang peninggalan Hindu abad ke VIII, bisa bersanding dengan makam Arif Muhammad, seorang Islam yang datang hampir sepuluh abad setelahnya?

Ini, selain memberi pengertian bahwa Cangkuang pernah didiami manusia dari dua zaman berbeda, juga mengundang pertanyaan konspiratif. Seperti kata Jijih Suparji, penjaga museum di sana, "kita tidak tahu, apakah Candi Cangkuang rusak karena pergeseran alam, atau Arif Muhammad yang menghancurkannya?" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar