Minggu, 12 Februari 2017

LANGKAH KUDA YANG SEMPURNA

Menkopolhukam
Wiranto dan Tokoh GNPF MUI
Kunjungan Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir ke Wiranto memang menarik. Banyak yang mengartikan sinis kunjungan itu sebagai langkah Wiranto dalam mencari muka kepada pentolan gerakan aksi GNPF MUI. Apalagi banyak informasi yang beredar jika Wiranto termasuk yang membentuk FPI dulu sebagai gerakan pam swakarsa di tahun 1998.

Saya malah melihat kunjungan itu sebagai langkah positif, terutama pada posisi Wiranto sebagai Menkopolhukam yang notabene adalah perwakilan pemerintah.

Salah satu pemikiran strategis Sun Tzu dalam "the art of war" adalah dekatlah pada sekutumu, tapi lebih dekatlah pada musuhmu. Merapat kepada mereka yang berlawanan sebenarnya adalah senjata yang efektif. Dengan semakin dekat, maka musuh akan semakin sulit bergerak.

Konsep perang Jokowi memang menghindarkan keributan yang tidak perlu. Jokowi membutuhkan situasi yang tenang supaya investor percaya kalau Indonesia tetap kondusif. Kita bisa melihat track record bagaimana Jokowi meredam keributan saat "pertarungan" KPK vs Polri jilid 2. Jokowi tidak suka menggunakan kekerasan sebagai cara menghantam. Ia model silent killer, membunuh dalam senyap.

Dan para assasin selalu mendekatkan diri pada targetnya, sedekat-dekatnya -bahkan jila memungkinkan merangkulnya- untuk kemudian menghabisinya tanpa terlihat..

Itulah yang dilakukan Wiranto sekarang sebagai panglima perang. Ia merangkul para pentolan yang sebenarnya sudah terbaca bahwa mereka hanyalah bayaran dari sekelompok oknum elit politik yang bernafsu menguasai kembali negeri ini.

Dengan sejarah mereka adalah teman lama, mudah bagi Wiranto mendekatinya. Ia mengundang mereka ke rumahnya untuk minum kopi bersama.

Tidak ada yang tahu apa pembicaraan di dalamnya, tapi hasilnya terlihat jelas. FPI terpecah dalam dukungan untuk melakukan long march dalam aksi 112.

Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI, Abuya KH. Abdul Majid mengatakan bahwa FPI tidak akan ikut dalam longmarch hanya mengadakan kegiatan zikir saja di Istiqlal. Tapi Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), KH. Ahmad Shobri Lubis ngotot tetap akan ikut aksi yang diprakarsai oleh kelompok Forum Umat Indonesia atau FUI.

Sesuai kesepakatan bersama, bahwa tanggal 11 Februari adalah minggu tenang dan tidak boleh ada kegiatan massa di jalan, maka niat demo besar berhasil di lokalisir hanya di Masjid Istiqlal saja. 

Dengan terpecahnya gerombolan, maka akan mudah bagi kepolisian untuk mengidentifikasi siapa orang-orang yang masih ingin membuat keributan.

Ini strategi yang jenius dan menarik untuk disimak. Cara perang yang elegan. Rangkul dan lokalisir potensi masalah.

Dengan merangkul para "komandan lapangan" aksi, maka ini juga akan membingungkan para penyandang dana di belakang layar dan mulai meragukan sebagian koalisinya, kepada siapa mereka sekarang berpihak..

Dan jangan lupa, panah-panah hukum tetap mengarah ke Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir. Panah itu tidak akan berhenti meskipun mereka merapat ke Wiranto yang mereka kenal sebagai "sahabat lama".

Buat saya, FPI tidak perlu dibubarkan. Karena jika mereka bubar dengan kekerasan, mereka akan membentuk sel-sel baru yang malah akan lebih sulit terlihat. FPI cukup disusupi, dikendalikan dan dirubah pemahamannya. FPI akan dikembalikan sesuai fungsinya di awal, untuk ikut menjaga keamanan negara.

Saya kok jadi teringat dengan apa yang pernah dilakukan pemerintah dengan Golkar. Partai yang dulu menyerang pemerintah habis-habisan, mendadak menjadi koalisi yang sempurna. Jadi rindu Tantowi Yahya dan Nurul Arifin yang hilang bagai ditelan bumi, padahal dulu suara mereka keras sekali.

Permainan catur yang cantik sekali. Bidak-bidak terbuka dan tersusun rapi, sekarang menunggu langkah lawan yang panik melindungi dirinya dengan cuitan-cuitan yang mencari simpati.


Sambil menunggu langkah lawan, seruput kopi dulu ahhh.

Sumber : Denny Siregar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar