Minggu, 22 Januari 2017

Beda Pola Pikir Jokowi dan SBY

Jokowi-SBY (dok: Kompas.com)
Presiden RI Joko Widodo kata teman saya “presiden ndeso”. Memang benar gayanya ndeso kok. Unik karena dari 6 Presiden RI sebelumnya, hanya Jokowi yang berani difoto pakai sarung, duduk santai menikmati suasana damai kolam yang penuh dengan ikan dan kecebong di halaman Istana.  Masih banyak lagi tampilan sosok sederhana yang diperlihatkannya kepada rakyat. Presiden yang sederhana dan rendah hati, rakyat dapat menangkap bahasa-bahasa non verbal pada diri Jokowi.
Dibalik tubuh yang tampak kerempeng itu ternyata tersembunyi mental baja, semangat pantang menyerah, mampu belajar dari pengalaman dalam tempo sekejap, sangat terbuka dengan berbagai masukan dari orang-orang sekitarnya.  Presiden Jokowi selalu berprasangka baik terhadap siapa pun, namun beberapa orang yang pernah berada di ring 1 akhirnya tersingkir karena terbukti menyalahgunakan kepercayaan Jokowi.
Sejak awal kepemimpinannya, banyak hinaan dan keragu-raguan yang dilontarkan oleh lawan politiknya. “Siapa sih Jokowi?” pikir mereka, menganggap remeh.  Seakan menutup mata terhadap pilihan rakyat, mereka yang menghina, memfitnah, merendahkan kemampuannya coba menekan dari segala sisi. Mereka mendikte, memerangkap, dan coba menaklukkan Jokowi dengan  dengan berbagai cara.  Ternyata tak seperti dugaan mereka, tubuh kerempeng itu ternyata jauh lebih pintar dan lebih kuat dari yang mereka pikirkan.  Paradigma lama yang mengatakan bahwa presiden Indonesia haruslah putra jawa berlatar belakang militer tidak sepenuhnya terbukti.  Jokowi terbukti mampu melakukannya dalam waktu yang relatif singkat, mengendalikan TNI dan Polri sepenuhnya dalam kendali Presiden.
Berbagai program kerja yang akhir-akhir ini membuka mata banyak pihak, bahwa benteng-benteng pertahanan keamanan Indonesia di batas-batas terluar ternyata sangat rapuh.  Terbayang apa kerja presiden kita sebelumnya, presiden berlatar belakang jendral itu selama 10 tahun berkuasa ternyata tidak punya inisiatif mendobrak politik pembangunan “Jawa sentris” yang kokoh mengangkangi Indonesia yang luasnya berpuluh-puluh kali luas pulau Jawa.  Jokowi mampu melihat titik lemah yang berbahaya itu dalam 2 tahun masa pemerintahannya.  Ancaman instabilitas keamanan yang datangnya dari Laut Cina Selatan sebetulnya telah lama diketahui, konflik terbuka sewaktu-waktu dapat terjadi.  Namun reaksi lamban yang diperlihatkan oleh pemerintah Indonesia sebelumnya membuat Cina dengan leluasa meraja lela menjarah hasil laut di wilayah perairan Indonesia.
Pembangunan  infrastruktur di luar Jawa memiliki arti strategis, membuka isolasi wilayah, memajukan perekonomian rakyat, dan akan berdampak langsung bagi kemajuan di segala bidang.  Kemampuan pertahanan dan keamanan Indonesia di pulau-pulau besar selain Jawa tidak dapat dilepaskan dari kuantitas dan kualitas infrastruktur, tingkat pendidikan rata-rata masyarakat setempat, dan kemajuan perekonomian yang terkait dengan ketersediaan lapangan kerja. Mustahil akan terjadi pemerataan hasil pembangunan bila tidak ditunjang dengan pembangunan infrastruktur.
Kita bayangkan betapa Papua yang luas itu ternyata kekayaan alamnya yang berlimpah banyak dinikmati oleh orang luar Papua.  Masih banyak daerah yang belum dialiri listrik, tidak ada jalan raya yang memadai yang mampu menghubungkan berbagai wilayah,  ketertinggalan dan keterbelakangan dalam segala sektor melilit pulau-pulau besar: Sulawesi, Kalimantan, dan Papua selama puluhan tahun.  Presiden Jokowi merubah mindset pembangunan, dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. Lalu apa jejak pembangunan yang ditinggalkan pemerintah sebelumnya selama 10 tahun berkuasa? Proyek-proyek mangkrak senilai triliunan rupiah di mana-mana. Wacana dan wacana yang tergantung di awang-awang, pembangunan yang bernilai strategis ternyata bersifat Jawa sentris, pembiaran banyak hal demi menyenangkan hati rakyat agar tidak bersuara nyaring, menghamburkan triliunan rupiah uang negara untuk meninabobokan si miskin dengan bantuan langsung tunai (BLT).
Presiden Jokowi punya visi membangun Indonesia yang sangat berbeda dengan SBY. Memang tidak mungkin bagi seorang Presiden RI bisa memuaskan semua rakyat. Presiden hadir bukan untuk jadi pemuas hati rakyat. Presiden hadir untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia agar lebih maju, lebih aman, lebih kokoh bertahan dalam gempuran globalisasi. Mengubah setiap jengkal wilayah NKRI ke arah yang lebih baik. Mengelola kekayaan alam, darat laut dan udara, secara maksimal bagi kemakmuran bersama.  Hanya seorang negarawan yang punya visi membangun “Indonesia sentris”.  Sorang negarawan lebih mementingkan kemajuan bangsa dan negaranya ketimbang mementingkan kelompok atau partainya. Apakah SBY seorang yang berjiwa negarawan? Silakan pembaca mencari jawabnya pada ilalang yang melambai di Hambalang.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar